Bioetanol
Bioetanol dipandang sebagai biofuel terbarukan yang bersih, terutama sebagai bahan bakar aditif yang dapat meningkatkan performa mesin dan mengurangi polusi udara, dan biofuel pertama yang diproduksi dalam skala besar. Produksi etanol Amerika Serikat dari jagung, yang merupakan generasi pertama biofuel, mencapai 50,3 kilo liter pada tahun 2010 dan naik ke 54,3 juta kilo liter pada tahun 2011 (Patrick, 2012). Sedangkan di Indonesia, produksi bioetanol pada tahun 2008 mencapai 377,5 juta liter pertahun yang dihasilkan dari bahan baku tetes tebu (Sofyan, 2012).Bioetanol adalah etanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses fermentasi. Etanol atau ethyl alkohol C2H5OH berupa cairan bening tak berwarna, terurai secara biologis (biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yg besar bila bocor. Etanol yang terbakar menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air. Etanol adalah bahan bakar beroktan tinggi dan dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam bensin. Dengan mencampur etanol dengan bensin, akan mengoksigenasi campuran bahan bakar sehingga dapat terbakar lebih sempurna dan mengurangi emisi gas buang (seperti karbonmonoksida/CO) (Heppy dan Risky, 2008).
Spirogyra sp.
Biomassa alga merupakan bahan baku yang lebih menguntungkan dibandingkan bahan baku untuk produksi bioetanol dari hasil pertanian, hal tersebut dikarenakan alga tersedia berlimpah di air tawar maupun eko-sistem laut, dan yang terpenting adalah bahan terbarukan. pretreatment dengan bahan kimia tidak diperlukan untuk bahan alga terutama untuk Spirogyra. Dalam prakteknya pretreatment secara kimia yang digunakan untuk menghilangkan atau mengubah sifat bahan yang tidak diinginkan (biomassa) yang hadir bersama dengan selulosa dan pati dalam bahan baku berbasis pertanian yang banyak digunakan dalam produksi bioetanol. Spirogyra merupakan dinding sel yang tersusun dari selulosa murni dan pati sederhana yang tidak menuntut semua jenis pretreatment. Bahkan pretreatment akan merusak selulosa yang menyebabkan hasil yang kurang optimal (Fuad, 2010). Komposisi karbohidrat dalam spirogyra kering sekitar 33-64% (Becker,1994).
Hidrolisis
Secara umum, proses pengolahan bahan berpati untuk menghasilkan bio-etanol dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari berat total.
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu. Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi, sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan a-amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi a-amilase 1.75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.
Fermentasi
Salah satu metode pembuatan etanol yang paling terkenal adalah fermentasi. Bahan baku untuk proses fermentasi berupa bahan mentah seperti mono/disakarida (gula tebu, tetes tebu), bahan berpati (padi, jagung, umbi, dll), dan bahan selulosa (kayu, limbah pertanian). Ragi yang dapat digunakan dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerivisiae, Saccharomyces uvarum (tadinya Saccharomyces carlsbergensis), Candida utilis, Saccharomyces anamensis, Schizosccharomyces pombe. Proses fermentasi dapat dijalankan secara batch maupun kontinyu. Fermentasi secara batch membutuhkan waktu sekitar 50 jam, pH awal 4,5 dan suhu 20-30 °C untuk menghasilkan yield etanol 90% dari nilai gula teoritis. Hasil akhir etanol sekitar 10-16% v/v (Bailey, 1986).Secara teoritik tiap molekul glukosa akan menghasilkan 2 mol etanol dan 2 mol karbondioksida, dan melepaskan energi. Nutrien diperlukan dalam pertumbuhan ragi. Nutrien yang ditambahkan adalah karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan hidrogen, sedangkan nutrien dalam jumlah kecil yaitu kalium, magnesium, kalsium, mineral, dan senyawa-senyawa organik seperti vitamin, asam nukleat, dan asam amino. Temperatur operasi yang digunakan tergantung pada jenis ragi, umumnya adalah 30-40 °C.
Tahap kedua pada pembuatan bioetanol adalah proses fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987).
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32°C.
Comments
Post a Comment